Dulu di era awal mula internet, orang berlomba-lomba menulis di blog maupun di forum diskusi. Menelorkan ide, membagikan pengetahuan, membuat tutorial, membuat online diary, hingga berharap cuan dari Google AdSense. Pada masa itu seperti wadah transisi bagi penulis yang sudah aktif menulis. Siapa yang bisa konsisten menulis dengan audience yang tepat, akan mendapat atensi, trafik, dan uang.
Salah satu penulis yang saya ingat adalah Dahlan Iskan. Sebagai jurnalis senior, kualitas tulisan beliau memang bagus dan mendalam. Topik dibawakan dengan bahasa yang menarik dan tidak membosankan. Bahkan katanya, pada saat beliau menjadi Dirut PLN, setiap ada rilis tulisan selalu dibahas di internal PLN.
Kemudian zaman bergeser dengan hadirnya era gambar. Instagram membuat semua orang berlomba memotret makanan, pakaian yang dikenakan, ruang kantor/rumah, lokasi liburan, dan momen sehari-hari. Memang ada tulisan, tapi caption hanya menjadi pelengkap karena aktor utamanya adalah foto. Katanya 1 gambar bisa mewakili sejuta kata.
Hari ini, kita hidup di era video. Era dimana orang bisa menjadi reporter dadakan, mewartakan kejadian sekitar dan membagikan kedalam group chat maupun aplikasi sejenis YouTube dan Tiktok. Semua orang juga bisa menjadi news presenter amatir dengan bicara di depan kamera.
Viral menjadi salah satu tujuan aktivitas era media sosial. Kadang ketika ada kejadian orang sekitar sibuk mengambil video, bukan menolong korban. Ada semacam rasa bangga jika video yang diposting ditonton dan di like-comment oleh banyak orang, bahkan dari belahan dunia lain. Dunia sangat cepat, lebih audio-visual, lebih “scrollable”. Lalu sekarang dimanakah relevansi menulis?.
Menulis tidak akan dipahami oleh mereka yang besar dizaman disrupsi audio-visual. Tulisan hanya “seonggok” huruf yang dirangkai dan lama untuk bisa scroll. Butuh waktu dan pemikiran yang lebih untuk dapat menarik makna dari rangkaian kata. Yang mungkin jika dibuat video hanya akan berdurasi beberapa menit, bahkan kurang jika kita naikkan speed play nya.
Jika menulis hanya dilihat sebagai cara menghasilkan uang, maka menulis sudah menjadi aktivitas yang “jadul” dan usang yang kalah cepat dan kalah viral. Seperti juga deretan toko buku terkenal yang bertumbangan karena menurunnya minat baca.
Menulis adalah aktivitas berpikir, memilih kosakata, merangkai logika, menyusun alur, dan mengekspresikan ide secara tertata. Menulis tidak pernah kehilangan relevansinya jika penulis memahami esensi menulis.
Di tengah gempuran dan arus short video “scrollable” berisi informasi instan, menulis menjadi semacam oase. Menulis melatih kita untuk tidak sekadar mengkomentari tanpa berpikir, bukan sekadar tampil dan eksis tapi paham apa yang disampaikan.
Perubahan bentuk media dari tulisan ke gambar, lalu ke video adalah soal medium, bukan soal substansi. Banyak orang sudah meninggalkan menulis karena dianggap sudah tidak penting dan tidak mendukung cuan atau viralitas. Tapi banyak dilupakan adalah untuk membuat video yang menarik dan mengalir harus ada skrip dan narasi yang harus “ditulis”.