Hubungan Industri dan Kampus harusnya harmonis dan sinergis, karena dari kampuslah industri mendapatkan talenta untuk melakukan regenerasi. Tapi kenyataannya (kalopun harmonis) itu hanya ada di atas kertas MoU maupun seremonial foto-foto saja.
Sudah sejak 20 tahun yang lalu ada konsep link and match. Konsep ini mengacu pada kurikulum dan skill set pembelajaran kampus yang sejalan dengan kebutuhan industri. Idealnya, dengan ini seharusnya lulusan kampus menjadi siap diserap dunia kerja tanpa harus adjustment skill melalui pelatihan dan training teknis.
Konsep ini sulit berhasil karena kampus yang tidak mampu gesit mengikuti perkembangan industri yang begitu kencang. Ketidaksigapan ini dibarengi dengan kurang eratnya kolaborasi nyata dengan industri.
Impact hal ini kita bisa rasakan sekarang. Banyak lulusan kampus, sudah sarjana, IP Tinggi tapi kapabilitasnya masih standar Magang. Bahkan, banyak yang sudah pegang ijazah belum pede bertarung dalam perebutan posisi internal entry-level, malah memperebutkan tempat magang. Magang yang harusnya sudah dilakukan semasa tingkat 2 atau 3.
Dulu IPK 3 itu sudah sangat hebat, karena pelajaran susah dan dosen pelit kasih nilai.
Sekarang IPK 3.5 bahkan cumlaude sudah sesuatu yang biasa, karena inflasi IPK dibarengi dengan tuntutan kampus untuk mendapatkan akreditasi Universitas-Fakultas-Program Studi.
Dulu standar mahasiswa keren itu kalau ikut organisasi “Kura-Kura” Kuliah Rapat Kuliah Rapat, bukan “Kupu-Kupu” Kuliah Pulang Kuliah Pulang.
Sekarang mahasiswa keren kalo punya portofolio kerja nyata lewat part time, freelance, project, magang, bahkan belum wisuda sudah kerja.
Kemarin ada kampus merdeka-merdeka belajar.
Sekarang ganti nama jadi magang “berdampak”. Ditengah efisiensi anggaran tetap ada program ini cukup bagus. Sayangnya tidak banyak mitra yang dilibatkan, tentunya berdampak pula pada jumlah peserta yang dapat diserap.
Semoga kedepan kerjasama Kampus-Industri tidak sekedar Omon-Omon yang berakhir di MoU.